BI Sebut Rupiah akan Kembali Menguat, Kapan nih?

  • Bagikan
BI Sebut Rupiah akan Kembali Menguat, Kapan nih?

[ad_1]

Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah melemah 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (19/3/2021). Sepanjang pekan ini, Mata Uang Garuda juga melemah dengan persentase yang sama, dan dalam 4 hari perdagangan hanya mampu menguat sekali saja Kamis kemarin.

Meski dalam tren kurang bagus, tetap Bank Indonesia (BI) memprediksi ke depannya rupiah akan kembali menguat.

“Kita optimis ruang penguatan rupiah dalam jangka menengah dan panjang,” ungkap Hariyadi Ramelan, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI di CNBC TV, Jumat (19/3/2021).


Hal ini didasari oleh pemulihan yang terjadi di negara maju mendorong dana asing mengalir ke negara berkembang, seperti Indonesia yang juga memiliki imbal hasil menarik bagi para investor.

Namun sayangnya saat ini dana asing justru mengalir keluar (capital outflow) akibat kenaikan yield obligasi (Treasury) AS. Sebab selisihnya dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menipis.

Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) pada periode 1 sampai 16 Maret, investor asing melepas kepemilikan SBN lebih Rp 20 triliun. Capital outflow tersebut lebih besar ketimbang sepanjang bulan Februari Rp 15 triliun.

Sementara pada hari ini, yield SBN tenor 10 tahun hari ini naik 7,3 basis poin ke 6,825%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield naik harga sedang turun begitu juga sebaliknya. Ketika harga sedang turun, artinya sedang ada aksi jual. Sehingga kenaikan yield bisa menjadi indikasi adanya capital outflow di pasar obligasi.

Kenaikan yield Treasury menjadi isu utama di pasar finansial tidak hanya di Indonesia tetapi secara global dalam beberapa pekan terakhir, sebab saat ini sudah mencapai level tertinggi satu tahun, sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (The Fed) belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% dan mengaktifkan lagi program pembelian aset (quantitative easing/QE) pada Maret 2020 lalu.

Kenaikan tersebut tidak hanya membuat rupiah tertekan, mata uang lainnya bahkan banyak yang kinerjanya lebih buruk dari rupiah.

Sepanjang tahun ini (year-to-date/YtD) hingga Kamis kemarin, yield Treasury sudah naik 81,7 basis poin. Alhasil, nilai tukar rupiah pun terus tertekan. Pada periode yang sama, rupiah melemah 2,49%.

Namun, pelemahan rupiah tersebut masih lebih baik ketimbang, beberapa mata uang seperti peso Meksiko dan baht Thailand yang melemah 3,02% dan 2,8%. Real Brasil bahkan merosot lebih dari 7%.

Kenaikan yield Treasury menjadi biang kerok pelemahan mata uang emerging market.

The Fed sebelumnya diperkirakan akan menjalankan Operation Twist guna meredam kenaikan yield tersebut.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

“Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami,” kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Nyatanya, dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed malah tidak mempermasalahkan kenaikan yield Treasury tersebut.

The Fed masih cukup nyaman dengan kenaikan yield Treasury, selama itu merupakan respon dari membaiknya perekonomian.

Alhasil, yield Treasury terus naik, dan selama itu terjadi rupiah berisiko terus tertekan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Secara Teknikal, Rupiah Perlu Lewati MA 200 untuk Menguat

[ad_2]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tak Hanya Produk Branding, Media Massa Pun Dipalsukan Seperti Majalah EKSEKUTIF ini