[ad_1]
Jakarta, CNBC Indonesia – Impian swasembada pangan yang dicita-citakan pemerintah selama ini hanya menjadi pepesan kosong. Berbagai komoditas pangan yang termasuk kebutuhan pokok (sembako) masih harus impor untuk kebutuhan dalam negeri.
Mulai dari yang paling pokok seperti beras untuk nasi, daging untuk memenuhi kebutuhan lemak dan protein, sayuran seperti jagung untuk vitamin dan mineral, gula bahkan sampai bumbu seperti bawang putih dan garam pun Indonesia harus impor.
Setiap roti dan mie instan yang dimakan adalah impor karena bahan baku 100% nya adalah impor. Setidaknya 10 juta ton gandum di datangkan dari negara lain terutama Australia.
Lebih dari 90% bawang putih yang digunakan untuk membuat sambal ayam geprek didatangkan dari China. Hampir tiga perempat kedelai yang digunakan untuk membuat tahu dan tempe mayoritasnya (>90%) diimpor dari Negeri Paman Sam.
Gula yang biasa digunakan untuk bahan aditif makanan dan minuman 70%-nya juga impor. Thailand menjadi negara terbesar pemasok gula di dalam negeri. Jangan lupa juga ya kalau sapi yang digunakan untuk membuat rendang kebanyakan juga impor dari Negeri Kanguru.
Bisa melihat bahwa Indonesia memang sudah kecanduan impor pangan. Kalau begini terus, dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi setiap tahun apa masih mau impor? Tidak juga kan pastinya.
Ketergantungan terhadap impor bahan pangan harus segera dimitigasi. Bila tidak, maka Indonesia akan sangat rentang dengan gejolak ekonomi global seperti inflasi yang tinggi dan menekan daya beli ketika kurs rupiah mengalami depresiasi terhadap dolar AS. Sehingga harga pangan bisa menjadi tak terjangkau.
Swasembada pangan harus dikejar! Namun sayang selama ini faktanya RI kok susah sekali mencapai impian tersebut. Malahan progresnya bukan maju tapi ada kecenderungan mundur.
Pangan adalah kebutuhan pokok setiap umat manusia. Untuk bertahan hidup dan bereproduksi manusia butuh makan. Sumber pangan dicukupi lewat aktivitas pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan.
Dulu negeri kita sempat dijuluki sebagai negara agraris karena pertanian menjadi salah satu ujung tombak pertumbuhan ekonomi. Khas negara berkembang. Kini fokus pemerintah adalah konektivitas.
Jembatan, jalan, pelabuhan, bandara banyak dibangun. Proyek infrastruktur senilai ribuan triliun terus berupaya diwujudkan oleh pemerintah guna mengangkat derajat dan martabat ekonomi Indonesia.
Namun sangat disayangkan ketika Indonesia sebagai negara dengan penduduk terpadat keempat di dunia ini harus bergantung banyak pangan dari negara lain. Luas areal lahan pertanian terus menyusut dari tahun ke tahun. Luas areal sawah terus mengalami penurunan.
Pada periode 2013-2017 luas area pertanian menyusut 2 juta hektar jika mengacu pada catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Di saat yang sama kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat ketika penurunan luas lahan pangan tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas yang berarti. Alhasil impor menjadi solusi jangka pendek.
Seringkali impor ini jadi mainan para pemburu rente. Kalkulasi antara kekurangan pasokan dengan kuota impor sering menjadi perdebatan. Ujung-ujungnya petani yang rugi karena harga komoditas di pasaran menjadi jatuh.
Petani sering menjadi korban. Sebagai subjek, pengetahuan hingga skill para petani pun masih terbilang minim. Perlu di-upgrade sehingga bisa mendongkrak produktivitas. Tak hanya ekstensifikasi, intensifikasi juga bisa jalan.
Pertanian di dalam negeri juga minim menggunakan intervensi teknologi. Selain karena persoalan skill para petani tadi juga diakibatkan karena kurangnya dukungan modal berupa kredit dan investasi.
Berdasarkan catatan World Food Programme, (WFP) masih sangat sedikit sekali petani kita yang mendapatkan akses ke kredit. Hanya sekitar 23% saja yang tercatat mendapatkan akses kredit formal. Bisa dibilang ada faktor rendahnya literasi keuangan juga.
Tata niaga perdagangan komoditas pangan yang carut marut dengan adanya spekulan dan tengkulak membuat rantai pasok menjadi tidak efisien. Lagi-lagi yang dirugikan adalah petani dan konsumen akhir.
Lihat saja kasus cabai. Harganya naik berkali-kali lipat. Dalam kondisi normal, harga cabai rawit per kg hanya Rp 20.000. Kemarin sempat melesat ke Rp 100.000 per kilogram.
Musim hujan dan cuaca ekstrem membuat banjir melanda sentra produksi. Pasokan menipis karena busuk dan jalur distribusi terganggu. Pola distribusi cabai termasuk yang panjang sehingga harga di konsumen akhir sangat tinggi.
Sentra produksi tanaman pangan juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa kecuali kelapa sawit untuk minyak goreng yang tersebar di Sumatra dan Kalimantan. Tentu saja ini membuat disparitas harga pangan antar pulau sering terjadi.
[ad_2]