[ad_1]
Jakarta, Eksekutif– Pemerintah tidak menyarankan masyarakat melakukan uji antibodi pasca menerima vaksin Covid-19. Selain rumit dan sulit, hasil uji antibodi dikhawatirkan akan membuat kebingungan di masyarakat.
“kita tahu akhir-akhir ini banyak sekali yang disampaikan pengujian antibodi secara mandiri. Kami sampaikan setelah vaksinasi kita tak menyarankan melakukan pengujian antibodi mandiri. Untuk yang tidak memahami pengujian akan menimbulkan kebingungan,” ujar Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmidzi dalam konferensi pers, Selasa (16/3/2020).
Siti Nadia menjelaskan bahwa uji antibodi hanya bisa dilakukan oleh sedikit laboratorium karena memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Pasalnya, uji antibodi dilakukan dengan menggunakan virus corona yang hidup.
“Saat ini standar internasional untuk melihat kadar imunogenitas belum ada yang direkomendasikan oleh WHO. Uji ELISA, bukan yang direkomendasikan dan bukan gold standard,” ujar Siti Nadia.
ELISA atau Uji enzyme-linked immunosorbent adalah teknik biokimia yang digunakan terutama pada imunologi untuk mendeteksi keberadaan antibodi atau antigen dalam sampel. ELISA selama ini digunakan untuk mengukur antibodi dalam tes HIV.
Secara internasional, tutur Siti Nadia, belum ada batas proteksi bagi antibodi Covid-19. Angka kecil dari pemeriksaan antibodi bukan berarti tak memberikan proteksi. Efikasi atau risiko untuk menjadi sakit sudah didapatkan.
“Efikasi vaksin Sinovac 65%. Imunogenitas Sinovac 90-95%. Kalau mendapatkan antibodi 46,300 atau 600 itu tak membuktikan angka kecil tak memberikan proteksi maksimal,” jelasnya.
“Kami memahami, ada pertanyaan mengapa setelah divaksin setelah 28 hari masih sakit Covid-19? Anak-anak kita masih bisa terinfeksi cacar. Kita tahu, cacar yang diderita sangat ringan dan tak menimbulkan kematian. Hal ini sama, vaksin bisa memberikan proteksi tidak sakit, tapi bisa juga sakit yang tidak parah,” jelasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob)
[ad_2]