Sementara Dewan Pers terbatas kewenangan untuk memberantas wartawan gadungan. Lalu, apa yang dapat diupayakan Dewan Pers?
Saat ini kita berada dalam paradigma kemerdekaan pers baru yang menurut UU Pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat.
Artinya, kemerdekaan pers bukan milik wartawan, pemodal, atau Dewan Pers, tetapi milik masyarakat berdaulat yang direfleksikan melalui kemerdekaan pers. Sehingga kemerdekaan pers harus bermakna untuk kehidupan masyarakat dan demokrasi.
UU Pers menyebut tujuan dari kemerdekaan pers, antara lain, menegakkan demokrasi, mengedepankan prinsip keadilan, dan supremasi hukum. Inilah paradigmanya.
Persoalannya, kalau kita ingin mengimplementasikan kemerdekaan pers dengan prinsip keadilan, adilkah wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau gadungan?
Adilkah masyarakat, sebagai pemilik kemerdekaan pers, melakukan pembiaran?
Lalu, apakah wartawan amatiran dapat diandalkan untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum sementara mereka bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran hukum seperti pencemaran nama baik?
Publik harus cerdas dan tegas menyikapi wartawan gadungan. Mereka jangan diberi ruang hidup. Jika mereka memeras segera lapor ke pihak berwajib.
Berbicara mengenai wartawan gadungan tidak ada relevansinya dengan kemerdekaan pers.
Sebab wartawan gadungan bukan wartawan. Sedang profesi wartawan adalah bermartabat dan terhormat.
****
Ada wartawan bekerja di media yang jelas tetapi meminta uang kepada narasumber usai meliput. Bagaimana menyikapinya?
Kalau wartawan bekerja secara profesional ia tidak mau meminta amplop dari masyarakat.
Wartawan yang profesional biasanya bekerja di perusahaan pers yang sehat.
Ciri perusahaan pers yang sehat, mereka memiliki pembaca, pendengar atau pemirsa yang mau membeli atau menonton. Sehingga ada pemasang iklannya. Mereka memiliki kredibilitas dan dapat menggaji wartawannya secara wajar.
Selama ini rendahnya kesejahteraan banyak dijadikan alasan wartawan untuk meminta amplop kepada narasumber.
Apakah itu dibenarkan?
Kalau ada orang mengaku wartawan, kemudian meminta uang kepada narasumber dengan alasan gajinya tidak mencukupi, sebaiknya ia mundur saja dari profesi wartawan.
Perilakunya mencederai kehormatan profesi wartawan.
Harapan masyarakat kepada Dewan Pers sangat besar. Bahkan berharap Dewan Pers bisa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan besar. Harapan itu tidak mungkin.
Selama ini Dewan Pers sudah merespon keluhan masyarakat mengenai perilaku wartawan gadungan atau wartawan sungguhan.
Dalam hal regulasi, Dewan Pers telah membuat Standar Kompetensi Wartawan.
Karena itu, pertama, Dewan Pers menghimbau sebaiknya wartawan bergabung dengan satu organisasi.
Dengan begitu ia terikat pada etika di organisasi tersebut.
Kedua, Dewan Pers telah membuat standar minimal pendirian perusahaan pers yang mengatur, misalnya, soal modal.
****
- DI ekonomi yang sulit, orang banyak berpikir yang mudah itu menjadi wartawan.
Preman pun banyak jadi wartawan. Kelakuan pejabat juga perlu diperhatikan.
Siapa sebenarnya yang berwenang mengeluarkan kartu pers? Misalnya pengacara, mereka membuat satu wadah yang boleh mengeluarkan kartu pengacara.
Untuk mendapatkan kartu pengacara perlu menjalani tes dan pendidikan. Apakah di wartawan juga ada ujian seperti itu?
****
Di satu pihak ada wartawan yang nakal. Di lain pihak ada masyarakat atau pejabat yang bermasalah dan menyediakan amplop untuk wartawan. Darimana memulai mengatasinya?
Adalah istilah garbage in garbage out: Kalau masuknya sampah akhirnya yang keluar juga sampah.
Kalau ada masyarakat yang kehilangan akal, kemudian membuat perusahaan pers atau menjadi wartawan tanpa kompetensi apapun di bidang pers, akhirnya produk yang dihasilkannya juga sampah.
Persoalan lainnya menyangkut perilaku penegak hukum yang tidak terpuji, yang biasa disebut oknum —meski bisa jadi sebenarnya bukan oknum tapi perilakunya telah struktural dan kurtural.
Kalau kita punya moral, etika, dan kompetensi, sedarurat apapun kita tidak akan memilih menjadi wartawan gadungan atau amplop.
****
Kebanggaan wartawan justeru pada penolakannya. Ketika menolak, integritas dan citra wartawan akan terangkat dan kembali bermartabat.
****
Bagaimana dengan prosedur mendapatkan kartu pers?
Untuk mengatasi problem rendahnya kompetensi wartawan, Dewan Pers memiliki program pendidikan dan pelatihan untuk wartawan bernama Sekolah Jurnalistik. Program ini masih terbatas dan dilakukan bekerjasama dengan LPDS (Lembaga Pers Dr. Soetomo). Pesertanya akan mendapat sertifikasi di bidang etika. Karena etika dianggap yang terpenting. Wartawan perlu diyakinkan, kalau mereka memiliki kemampuan profesional yang diikuti etika maka mereka memiliki kedudukan bermartabat.
Setiap profesi modern memiliki organisasi.
Di dalam organisasi itu melekat etika sebagai mahkota. Dimungkinkan wartawan membuat organisasi tunggal, seperti advokat, yang dapat mengeluarkan sertifikat. Persoalannya tinggal bagaimana stakeholders di kalangan pers dan masyarakat memiliki kesepakatan.
Sebab, jika sebagian sepakat dan sebagian tidak, akan jadi masalah. Wartawan profesional memang sebaiknya dibekali sertifikat yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga yang disepakati bersama.*