9 dari 10 Orang di Dunia Tak Sadar Sakit Ginjal Kronik

  • Bagikan
Peringatan Hari Ginjal Sedunia tahun ini mengambil tema

[ad_1]

Jakarta, Eksekutif —

Hari Ginjal Sedunia (World Kidney Day) diperingati setiap Kamis minggu kedua Maret. Peringatan ini merupakan inisiatif dua organisasi Internasional of Society of Nephrology (ISN) dan International Federation of Kidney Foundation (IFKF).

Sejak 2006, World Kidney Day tidak hanya dirayakan oleh kalangan tenaga medis dan pasien penyakit ginjal tetapi juga masyarakat umum.

Tahun ini, Hari Ginjal Sedunia jatuh pada Kamis (11/3), bertepatan dengan perayaan Isra Mi’raj. Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), berkata tahun ini Hari Ginjal Sedunia mengambil tema “Hidup Berkualitas dengan Penyakit Ginjal”. Tema ini ingin menekankan bahwa penting untuk memiliki hidup berkualitas meski memiliki sakit ginjal.


“Tujuan peringatan secara umum juga meningkatkan kewaspadaan tentang pentingnya kesehatan ginjal, juga mencegah penyakit ginjal,” kata Aida dalam webinar Peringatan Hari Ginjal Sedunia 2021, Rabu (10/3).

Secara global, 1 dari 10 orang di dunia mengalami penyakit ginjal kronik. Sedangkan 9 dari 10 orang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami penyakit ginjal kronik.

Bagaimana dengan data di Indonesia?

Aida memaparkan berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) ada peningkatan prevalensi penyakit ginjal kronik. Riskesdas 2013 mencatat angka prevalensi 2 per 1000 penduduk, kemudian pada laporan 2018 mencatat 3,8 per 1000 penduduk.

Sedangkan menilik laporan Indonesian Renal Registry (IRR), ada peningkatan tajam jumlah pasien baru penyakit ginjal. Data 2018 mencatat ada 66.433 pasien kemudian pada 2019 menjadi 69.124 pasien atau ada peningkatan 2.691 pasien.

Pasien yang mengakses layanan hemodialisis (cuci darah) pun meningkat karena biaya hemodialisis yang ditanggung BPJS sejak 2014. Pada 2019 tercatat ada 185.901 pasien mengakses layanan hemodialisis atau ada peningkatan sebanyak 50.415 pasien dari 2018 sebanyak 135.486 pasien.

“93 persen pasien yang menjalani hemodialisis dibiayai BPJS, sebagian lainnya menggunakan asuransi lain dan biaya pribadi. Di 2019, BPJS mengeluarkan 2,3 triliun atau keempat terbesar setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke,” kata Aida.

Pasien penyakit ginjal kronik memerlukan terapi pengganti ginjal. Namun fasilitas terbatas dan belum merata ke semua wilayah di Indonesia. Alat maupun tenaga medis masih terpusat di Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.

Sedangkan ada wilayah lain seperti Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua dengan jumlah alat maupun tenaga medis sangat sedikit dan timpang dengan Jawa.

Oleh karena itu, lanjut Aida, pencegahan dan diagnosis dini menjadi sangat penting. Diagnosis dini bisa mencegah perburukan dan menekan biaya kesehatan.

Kemudian perlu disadari bahwa hidup dengan penyakit ginjal, menjalani terapi pengganti ginjal termasuk cuci darah tentu tidak mudah. Banyak keluhan timbul juga ada keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik.

“Perlu pemberdayaan pasien dan keluarga untuk partisipasi aktif untuk menjaga kesehatannya sendiri. Mengatur diet, obat, aktivitas fisik yang sesuai dengan kondisi. Kemudian terjalin komunikasi yang baik antara pasien, keluarga dan tenaga medis,” ucapnya.

(the / agn)

[Gambas:Video CNN]


.

[ad_2]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tak Hanya Produk Branding, Media Massa Pun Dipalsukan Seperti Majalah EKSEKUTIF ini