[ad_1]
Jakarta, Eksekutif – Private placement merupakan istilah yang sering didengar dalam dunia persahaman di Bursa Efek Indonesia (BEI). Seringkali istilah ini dipersamakan dengan rights issue meskipun sebenarnya berbeda kendati sama-saham merupakan aksi penerbitan saham baru.
Di bursa saham, rights issue dan private placement sebenarnya memiliki tujuan yang sama yaitu menghimpun dana-dana segar secepat mungkin untuk penambahan modal. Caranya sama-sama menerbitkan saham baru sehingga saham beredar di publik bertambah, misal awalnya 1 miliar saham, menjadi 2 miliar saham.
Namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan pada jenis investor yang dibidik.
Dalam private placement, yang dibidik adalah investor-investor baru yang belum memiliki saham perusahaan tersebut, bukan investor eksisting. Hal ini dijalankan emiten melalui skema penerbitan saham baru tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Non-HMETD).
Sebab itu, investor lama tentunya akan mengalami dilusi saham (porsi sahamnya berkurang secara persentase, bukan jumlah saham).
Sementara dalam rights issue alias HMETD, emiten terlebih dahulu memberikan hak kepada pemegang saham lama untuk menyerap saham baru yang diterbitkan.
Mekanisme yang dijalankan biasanya emiten akan memberikan hak menyerap dengan rasio-rasio tertentu. Bila sang investor menolak dan bersedia terdilusi, saham itu akan ditawarkan ke stand-by buyer atau investor yang telah menunggu untuk mengakuisisi beberapa persen saham rights issue alias si pembeli siaga.
Meski begitu, seringkali kedua fenomena ini menghasilkan efek samping yang cukup sama. Seringkali karena sentimen psikologis, harga saham-saham emiten yang melakukan rights issue atau private placement mengalami penurunan.
Berkaca dari fenomena ini, Head of Research PT RHB Sekuritas Indonesia, Andre Wijaya, menyatakan bahwa investor khususnya yang bermain jangka panjang harus meneliti secara berhati-hati mengenai tujuan penggalangan dana melalui skema-skema ini.
Bila memang tujuannya baik, maka ia sarankan untuk menahan sementara kepemilikan saham itu meski harganya akan turun. Ia mengatakan biasanya return yang menguntungkan akan tiba sekitar 2-3 tahun setelah rights issue atau private placement.
“Saya sarankan ya jangan dijual karena nanti akan ada keuntungan yang besar dan harga sahamnya juga akan naik namun dibutuhkan waktu sekitar diatas setahun baru akan terasa keuntungannya.” pungkasnya dalam Investime Eksekutif, Rabu (14/4/2021).
Lebih lanjut, bagi para trader yang bermain jangka pendek dan tak bisa menunggu selama itu, ia mengusulkan agar pindah ke saham lainnya.
“Jadi untuk trader yang bermain keuntungan jangka pendek saya sarankan agar pindah ke saham lain,” tambahnya.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/tas)
[ad_2]