[ad_1]
EKSEKUTIF.com –Stunting masih menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Tingginya angka dan permasalahan stunting inilah yang mendasari Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon,) melakukan riset untuk disertasinya hingga meraih gelar Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI pada Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2021 yang dilakukan secara daring, dengan pidato pengukuhan berjudul ‘Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial : Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional’.
Stunting didefinisikan oleh WHO sebagai tinggi badan di bawah 2 standar deviasi di bawah median tinggi badan menurut usia. Pada tahun 2013, UNICEF menerbitkan laporan “Improving Child Nutrition”, yang menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 untuk jumlah anak dengan moderate atau severe stunting. Hasil data tersebut dihitung berdasarkan kurva standar WHO sehingga mungkin menyebabkan overestimation angka stunting karena rerata tinggi badan yang tidak representatif terhadap suatu populasi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi yakni 30%. Stunting merupakan sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun. Stunting memiliki dampak otak dan fisik anak sulit berkembang, kognitif, produktivitas dan kesehatan lebih rendah. Tetapi tidak semua anak yang berperawakan lebih pendek mengalami stunting.
Penuntasan stunting pada anak sebagai suatu permasalahan multi-factorial, medis, sosial ekonomi, politik dan emosional. Stunting di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi prioritas pemerintah.
Melihat masih tingginya angka dan permasalahan stunting yang ada di Indonesia, inilah yang mendasari Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) tergerak mengkaji lebih dalam melalui riset terkait stunting ini, yang hingga akhirnya meraih kesukses dengan dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI pada kegiatan Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran FKUI 2021 yang dilakukan secara daring.
Dalam kesempatan itu, ia memberikan pidato pengukuhan berjudul “Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial : Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional’. Ia juga terus berkomitmen untuk berkontribusi dalam menangani permasalahan stunting dengan terus melakukan penelitian di sejumlah daerah di Indonesia.
Harus Dilihat Secara Komprehensif
Diungkapkan, masalah stunting harus dilihat secara komprehensif, menelaah dari berbagai faktor yang bisa memengaruhinya, termasuk standar pengukuran yang digunakan. Stunting erat dikaitkan dengan masalah nutrisi, tetapi hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna.
Penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan. Sedangkan, Penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan. Oleh karena itu, penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain.
Penggunaan stunting sebagai indikator status gizi dapat mengalihkan perhatian dari masalah lingkungan dan sosial yang memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan anak karena diskusi mengenai stunting terlalu dititikberatkan pada masalah gizi. Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional.
Kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi, diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan. Studi tentang pertumbuhan anak balita Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa anak balita di Korea Selatan lebih tinggi 6-7 cm dibandingkan Korea Utara. Populasi Jerman Timur juga lebih pendek jika dibandingkan populasi Jerman Barat sebelum Tembok Berlin diruntuhkan.
Faktor genetik juga diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan, melalui Penelitian disertasi yang dilakukannya di Rampasasa, Flores menunjukkan, populasi yang lebih pendek dari rerata nasional. Lelaki dewasa pada kelompok pigmoid Rampasasa mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan tinggi badan perempuan dewasa di bawah 140 cm.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting. Penggunaan kurva pertumbuhan yang tidak tepat dapat menyebabkan over-diagnosis stunting dan underweight, terutama pada populasi Asia, yang secara umum dianggap lebih pendek dan lebih rendah berat badannya dibandingkan populasi di Eropa dan Amerika. Tingginya angka stunting di Indonesia dan perhatian pemerintah serta alokasi dana yang tinggi menunjukkan pentingnya akurasi dalam pengukuran pertumbuhan anak”. ujar Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, dilansir dalam siaran pers, baru-baru ini.
Ditambahkannya, berdasarkan berbagai penelitian, dalam mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu melihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosional. Pencegahan dan deteksi dini sangat penting dalam manajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting,sehingga sistem yang sudah berjalan di Indonesia berpotensi untuk ditingkatkan,misalnya penggunaan buku KIA dan pemanfaatan Posyandu.
“Dalam mendukung perkembangan digitalisasi dan mempermudah akses layanan kesehatan di daerah rural Indonesia, kehadiran smartphone dapat dimanfaatkan untuk kesehatan anak, misalnya penggunaan aplikasi seperti PrimaKu. Aplikasi pemantauan pertumbuhan anak dapat membantu orangtua dalam upaya deteksi dini jika anaknya mengalami gangguan pertumbuhan,” ujar Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan.
Ditegaskan, deteksi dini stunting dan perawakan pendek sangat penting. Deteksi yang benar memerlukan piranti (kurva pertumbuhan) yang tepat. Faktor-faktor penyebab stunting sangat kompleks sehingga intervensi dari berbagai pihak perlu dioptimalkan, termasuk kebijakan pemerintah harus dilakukan serentak di segala sektor. Bangsa yang besar adalah bangsa yang melindungi anak-anak di masa pandemi.
Sebagai informasi, Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) aktif bekerja sebagai Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) serta Anggota Majelis Dokter Spesialis Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selain aktif dalam kegiatan nasional, sejak tahun 2018 hingga kini, ia menjabat sebagai President of Asia Pacific Pediatric Association (APPA). Pada tahun 2010-2012, menjabat sebagai President of Asia Pacific Pedriatric Endocrinology Society (APPES), di tahun yang sama juga merupakan Project Leader DM type 1 for World Diabetes Foundation di Indonesia.
Saat ini menjabat sebagai Elected Executive Director International Pediatric Association (IPA) dan juga aktif dalam organisasi internasional lainnya seperti di European Society of Paediatric Endocrinology (ESPE), Honorary member of Royal College of Physicians of Ireland serta International Fellow of American Academy of Pediatric (FAAP) dan berperan sebagai editor di beberapa jurnal internasional seperti Annals of Pediatric Endocrinology and Metabolism, Clinical Pediatric Endocrinology, dan Human Biology and Public Health. (ACH)
[ad_2]