Kisah Ibu 2 Anak Penggiat Komunitas Muslimah di Eropa

oleh -5 views
Bukan cuaca dingin atau bahasa, bagi saya salah satu tantangan terbesar merantau ke luar negeri ialah jauh dari orang tua dan teman-teman.

[ad_1]

Helsinki, Eksekutif –

Bukan cuaca dingin atau bahasa, bagi saya salah satu tantangan terbesar merantau ke luar negeri ialah jauh dari orang tua dan teman-teman.

Saya hijrah dari Indonesia ke Finlandia pada tahun 2015, dua tahun setelah menikah dengan suami saya yang mendapat penugasan di sana.

Di negara yang sudah empat kali masuk daftar paling bahagia ini, kami juga diberkahi dua buah hati yang tahun ini baru menginjak usia empat dan dua tahun.

Karena tiket pulang pergi Finlandia-Indonesia tidaklah murah, jadi kami hanya bisa dua tahun sekali mengunjungi orang tua. Jadilah saya harus mandiri saat hamil sampai melahirkan.

Beruntung saya tinggal di Finlandia, negara yang amat peduli dengan penduduknya, sekalipun saya hanya seorang imigran. Sederhananya di sini ada “posyandu” yang bernama Neuvola untuk mengontrol kesehatan ibu dan anak, sejak hamil hingga anak tumbuh balita.

Dari kehamilan, saya sudah diminta melakukan pengecekan kesehatan. Tidak hanya fisik, tapi mental. Satu keluarga akan didampingi satu suster.

Saat kelahiran, pengecekan juga dilakukan rutin, bahkan sejak satu minggu bayi lahir. Oh iya, semuanya gratis asal kita sudah punya kartu asuransi dari negara.

Pengalaman melahirkan pertama mungkin bisa dibilang “dramatis”, karena saya sempat mengalami depresi post partum (PPD). Tidak hanya rasa lelah yang saya rasakan saat itu adalah rasa cemas, karena anak saya tidak mau menyusu.

Keluarga saya hubungi via pesan pendek sampai panggilan video. Teman-teman yang sudah punya anak juga sama. Hasilnya saya masih galau.

Mungkin niatnya baik untuk memberikan nasihat, tapi komunikasi lewat layar pasti terasa beda dengan tatap muka langsung, karena kita tidak bisa menatap lawan bicara, hanya mengira-ngira intonasinya saja.

Salah satu hal yang membuat saya cemas saat itu adalah masalah ASI. Contohnya soal ASI versus susu formula. Ada yang mendukung saya memberi susu formula, ada yang mengingatkan saya agar tetap memberikan ASI sesuai umur.

Buat saya pribadi, tentu saja, saya mengetahui bahwa ASI itu merupakan makanan terbaik untuk anak. Bahkan, dari sebelum melahirkan pun, saya ingin sekali memberikan brestfeeding langsung kepada anak saya. Suster pun sangat mendukung akan keputusan saya tersebut. Beliau pun beberapa kali memberikan pelatihan menyusui sebelum melahirkan.

Tapi ternyata, pada praktiknya menyusui tidaklah semudah teori. Faktor emosi sangat mempengaruhi produksi ASI saat itu. Anak saya pun sempat masuk rumah sakit akibat dehidrasi. Dari sanalah akhirnya dokter meminta saya untuk memberikan susu formula dan tetap memompa ASI.

Setelah beberapa waktu lamanya, ternyata ASI saya pun hanya sedikit sekali keluar. Selain itu, kondisi emosi pun belum baik, malah saat itu semakin memburuk karena saya sempat menjauhi anak saya. Merasakan hal yang kurang baik terjadi, akhirnya saya mendiskusikannya dengan suster yang menangani saya di Neuvola.

Di sana saya mencurahkan perasaan hati ke suster tersebut. Di situ saya menangis dan mengaku bingung dengan kondisi yang saya alami.

Penulis bersama keluargs kecilnya di Finlandia. (Dok Nurfitriani)Penulis bersama keluargs kecilnya di Finlandia. (Dok Nurfitriani)


Kisah Ibu 2 Anak Penggiat Komunitas Muslimah di Eropa

BACA HALAMAN BERIKUTNYA


.

[ad_2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.