[ad_1]
Jakarta, Eksekutif – Krisis utang menjadi salah satu ancaman yang disebutkan laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) bertajuk The Global Risk Report 2021. Krisis tersebut bisa terjadi di 3-5 tahun mendatang.
Peningkatan utang memang tidak bisa dihindari ketika ada pandemi covid 19. Negara di dunia baik maju, berkembang atau miskin sekalipun memperlebar defisit pada tahun lalu demi menjaga masyarakat tidak tertekan terlalu berat.
“Makanya implikasi dari stimulus total utang ke GDP negara di dunia lebih dari 200 negara, kecenderungan meningkat,” ungkap Ekonom Bank Pertama Josua Pardede kepada Eksekutif, Senin (15/3/2021)
Pelebaran defisit ada batas waktunya. Pada titik tertentu, ketika ekonomi mulai pulih maka defisit harus kembali ke batas yang dianggap aman. Namun sayangnya proses kembali ke batas tersebut tidak mudah karena harus memangkas banyak belanja.
“Belanja pemerintah bisa terbatas ke situ sehingga memang risikonya tadi bisa terjadi perlambatan dan di sisi lain sebelum terjadi perlambatan dimungkinkan terjadi bubble tadi. Itu yang dikhawatirkan bisa membuat risiko di pasar keuangan global meningkat,” jelasnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada 2020 lalu, defisit anggaran diperlebar menjadi 6% dari yang sebelumnya di bawah 2% terhadap PDB. Rasio utang terhadap PDB ada kenaikan sedikit tapi masih di bawa 40%. Utang pemerintah sedikit terbantu karena Bank Indonesia (BI) berbagi beban.
Menurut Josua Indonesia masih bisa bertahan karena data fundamental ekonomi yang juga terus membaik. Ekonomi perlahan pulih meskipun masih di teritori negatif. Inflasi terkendali di sekitar 2% dan neraca transaksi berjalan juga masih terjaga.
“Harapannya kalau kita bisa pertahankan fundamental rasio utang, CAD, dan pertumbuhan ekonomi solid maka tidak akan terjadi (ancaman tersebut). Dampak ke Indonesia bisa kita redam,” ujarnya.
Mitigasi yang perlu dilakukan pemerintah adalah akselerasi belanja agar ekonomi bisa mendorong permintaan dan penawaran di masyarakat. Efeknya penerimaan pajak juga akan meningkat sehingga belanja tidak perlu menggunakan utang lagi. Josua memproyeksi pertumbuhan ekonomi bisa 5%.
“Kalau pertumbuhan terakselerasi baik dari sisi permintaan dan produksi mestinya penerimaan pajak bisa lebih pick up dan optimal sehingga potensi penambahan utang berkurang,” kata Josua.
Satu hal yang juga harus menjadi perhatian, ketika ekonomi membaik maka transaksi berjalan juga harus dipastikan tidak melonjak. Ini seringkali terjadi karena kebutuhan impor masih sangat tinggi untuk mempercepat pembangunan. Tentunya bisa menjadi sentimen negatif bagi investor.
“Kalau growth membaik, current account jangan sampai memburuk, harus balance,” tegasnya.
[Gambas:Video CNBC]
(mij/mij)
[ad_2]