Menepi dari Peradaban di Desa Cisadon

  • Bagikan
Selain beragam curug, Desa Cisadon juga menjadi primadona wisata di Sentul. Lancong Semalam pekan ini berupa pengalaman trekking di desa indah itu.

[ad_1]

Jakarta, Eksekutif —

Buat Jakarta, juga kota-kota besar lain di Indonesia, segala sesuatunya terasa mudah, terasa cepat. Mulai dari akses informasi, fasilitas, pemenuhan kebutuhan harian semua mudah. Kemudian cepat, bahkan saking cepatnya, hidup terasa bagai kompetisi dan nyaris tanpa jeda. Kalau sudah begini, penat pasti menghampiri.

Sebelum fisik dan psikis ‘goyang’, ada baiknya sejenak menepi dalam rangka mengasingkan diri baik dari bising klakson kendaraan maupun gemuruh notifikasi ponsel. Adalah Desa Cisadon yang terletak di Kelurahan Karang Tengah Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, suatu lokasi yang pas untuk ‘melipir’ dari hiruk pikuk kota metropolitan.

Sepintas terbayang suasana perkampungan nan asri, suara kotek ayam dan celoteh warga setempat dengan bahasa Sunda. Namun ini hanya hipotesis hingga akhirnya saya memutuskan untuk menyambangi desa ini. Cukup bermodal sepasang kaki dan keyakinan, pada Selasa (2/3), nyatanya apa yang saya lalui dan saksikan melebihi ekspektasi di awal.


Dimulai dari Prabowo

Bersama Local Guide Sentul Community, perjalanan ini dikemas dalam bentuk trekking. Saya musti melepas segala kenyamanan kota besar dan bersedia menghadapi segala kemungkinan mulai dari jalur menantang hingga cuaca tak menentu. Saya akan melalui jalur Prabowo.

Jika di pikiran Anda terlintas nama Menteri Pertahanan RI, ini tidak salah. Nama ini memang disematkan karena kediaman Prabowo Subianto terletak di area Desa Bojong Koneng, tidak jauh dari titik awal keberangkatan. Tidak aneh ketika Anda akan menemukan aparat berseragam loreng dan bersenjata laras panjang berjaga di sekitarnya.

Karena hari kerja, suasana tampak lengang. Warung yang sedianya menjamu para pengunjung pun tutup. Mamet dan Uje, tour guide trekking kali ini, mengatakan warung buka di akhir pekan saat ramai pengunjung.

Sebelum menjejakkan kaki, saya dipandu untuk peregangan. Ini akan berguna untuk ‘menghangatkan’ otot. Belum apa-apa, saya sudah gugup. Selesai peregangan, kami bersiap dengan logistik masing-masing. Selain kamera, saya memastikan ada camilan dan air minum di tas. Lagi-lagi karena hari kerja, saya tidak ingin menggantungkan harapan pada warung di sepanjang perjalanan.

Kami akan menempuh perjalanan sepanjang kira-kira 8 kilometer. Sebuah tanjakan dengan aspal rusak di sana-sini jadi penanda keberangkatan pada pukul 7.30 WIB. Dekat portal besi, Dadan Anwarudin atau akrab disapa Edo sudah menanti dan bergabung dengan kami.

Lancong Semalam Desa CisadonMedan trekking. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)

Medan tanpa kata ‘mustahil’

Halimun, dalam bahasa setempat berarti kabut, tipis menyambut. Karena perjalanan cukup panjang, saya musti mengatur napas. Aspal rusak mulai berganti dengan medan berbatu-batu campur tanah basah sisa hujan semalam.

Jalan menanjak dengan diiringi ‘dinding’ alam di sebelah kanan dan jurang di sebelah kiri. Samar-samar ada pemandangan gunung dan bukit hijau. Meski halimun memendekkan jarak pandang, masih terselip syukur karena hujan belum turun. Langit masih konsisten mempertahankan mendung rupanya.

Sesekali kami harus melewati jalan dengan cekungan memanjang dan dalam, seperti bekas ban mobil. Bisa dibayangkan kalau hujan turun cekungan ini bakal berubah jadi kolam dikelilingi lumpur.

“Jalur ini sering buat lewat mobil off road, motor trail. Orang lari, sepedaan juga lewat sini,” ujar Mamet.

Kepala saya sulit menangkap soal lari dan bersepeda di jalur ini. Mungkin para pesepeda gunung, pikir saya. Tanya ini seolah terjawab setelah 2 kilometer berjalan. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah warung di persimpangan jalur Prabowo dan jalur arah Megamendung. Kami tepat di sisi bukit Tumpel.

Di menit-menit akhir waktu istirahat, tiba seorang pesepeda dari lawan arah. Dari sini saya percaya jalur ini memang dilintasi pesepeda.

Tak cukup sampai di situ. Saya pun dibuat takjub dengan motor-motor warga yang melintas. Bukan motor trail atau motor khusus lain melainkan motor matic atau manual biasa. Mereka melintas seperti tak ada satu pun hambatan. Buat saya jalan ini nyaris mustahil dilalui tetapi tidak buat mereka.

Lancong Semalam Desa CisadonMelewati aliran air. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)

Menepi dari Peradaban di Kampung Cisadon

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

.

[ad_2]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terhubung Dengan Kami
Link Asli adalah EKSEKUTIF.com - Hati-Hati Dengan Jurnalis Yang Mengaku Majalah Eksekutif. Organik kami berintegritas. Mematuhi kode etik Dewan Pers. Memiliki ID Card majalah eksekutif. JIka kurang yakin, silahkan WA 0816-1945-288 untuk konfirmasi.
Tak Hanya Produk Branding, Media Massa Pun Dipalsukan Seperti Majalah EKSEKUTIF ini