[ad_1]
Jakarta, Eksekutif —
Curug Leuwi Hejo, salah satu daya tarik wisata Sentul, rasanya sudah terlalu populer. Saking terkenalnya, mendengar kata Sentul, orang langsung terpikir air terjun ini. Padahal bumi Sentul masih menyimpan banyak potensi wisata alam lainnya.
Saya merasa kalau sekadar kunjungan tanpa ‘bumbu’ tantangan jelas terasa kurang. Kenapa tidak membungkus perjalanan ini dalam kemasan trekking? Trekking bakal memungkinkan kita menjelajah lebih dari satu lokasi sekaligus dalam sehari. Akhirnya diputuskan untuk trekking dengan mengambil jalur ke tiga curug yakni, Curug Ciburial, Curug Kembar dan Curug Hordeng.
Barangkali Rabu (3/3) bakal jadi hari yang bersejarah dalam hidup. Trekking belum dimulai tapi kendaraan yang membawa saya ke pos titik awal jalur harus menemui tantangan terlebih dahulu.
Sisa hujan semalam membuat jalan yang terbuat dari beton berbatu jadi licin. Mobil selip di tanjakan dan nyaris tergelincir saat melintas di Desa Cibadak, Kecamatan Sukamakmur. Namun kami selamat berkat sistem mobil yang manual dan datang bantuan untuk menarik mobil dengan tali. Sungguh pagi yang mendebarkan.
Demi keamanan, mobil tidak dikendarai hingga titik awal jalur/pos. Mamet, Uje dan Dadan Anwarudin alias Edo, tour guide dari Local Guide Sentul Community, menyarankan untuk berjalan kaki langsung sekitar 500 meter hingga ke pos. Tak masalah, demi keamanan bersama.
Total jarak tempuh kali ini sekitar 6 kilometer (pulang pergi). Menurut Mamet, pengunjung bisa mengambil jalur untuk 8 air terjun mulai dari bawah atau dari Curug Leuwi Hejo, Curug Barong, Leuwi Cepet, Leuwi Lieuk, Curug Cibaliung, Curug Ciburial, Curug Kembar dan berakhir di Curug Hordeng.
“Atas lagi masih ada curug, ada Curug Mariuk, lalu paling atas Curug Cisarua. Tapi di sana masih dikelola warga lokal, belum terdaftar resmi jadi belum ada jaminan asuransi,” ujarnya.
Sekitar pukul 8.30 WIB kami memulai perjalanan. Tak tanggung-tanggung, tanjakan berbatu langsung menyambut.
Biru air Ciburial
Curug pertama yang jadi tujuan kami adalah Curug Ciburial. Dari Mamet, saya baru paham kalau yang dinamai Ciburial adalah kolam di dekat curug. Ini pula yang jadi daya tarik wisatawan untuk berenang, katanya. Jalur yang kami lalui didominasi tanjakan dan dikelilingi hutan rakyat.
Akan tetapi ada satu lokasi berupa dataran yang cukup luas. Biasanya ini dipakai sebagai area kemah dengan latar Gunung Kuta. Dari kejauhan, gunung ini memiliki semacam dinding batu keabuan. Uje berkata di puncak Kuta biasanya kaum pecinta alam bermalam dengan mendirikan tenda.
Anggap saja ini sebagai pemanasan sebelum melalui jalur tanjakan cukup ekstrem. Saya cuma bisa menghela napas sembari menenangkan kaki yang mulai pegal. Jalan berupa tanah liat basah.
Jalur menuju Curug Ciburial. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)
|
Namun perjuangan ini terbayar sebab sampai atas, mata disuguhi bentang alam Sentul yang indah. Meski matahari cuma sedikit mengintip dari balik awan, kami tetap bisa menyaksikan hamparan bukit, gunung juga sebagian kota Sentul. Lumayan, sembari menarik napas sebelum melanjutkan perjalanan.
Dari sini, tanjakan maupun turunan rasanya berimbang. Kami menyusuri jalan dengan dinding bukit di sebelah kiri dan jurang di kanan. Warung-warung yang kami lewati pun tutup karena pemilik warung lebih memilih berjualan di akhir pekan. Di hari kerja begini, mana ada yang mau berwisata, mungkin begitu pikir mereka.
‘Kawan’ perjalanan pun mulai berubah dari semak liar menjadi pohon kopi. Suara deras air seolah jadi penanda bahwa curug sudah dekat. Akses jalan terbilang baik dengan tangga-tangga tanah bertepi bambu sederhana. Tidak ada rasa khawatir bakal tergelincir.
Tangga-tangga tanah. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)
|
“Wisata curug mengangkat perekonomian warga, makanya warga inisiatif untuk memperbaiki akses. Tangga ini warga lokal yang bikin,” ujar Edo.
Samar-samar, tampak warna biru kehijauan dari bawah. Saya makin bersemangat menuruni tangga lalu melewati jalan setapak berdinding batu. Rupanya keindahan curug di unggahan media sosial memang sesuai aslinya. Tepat satu jam perjalanan untuk menuju titik pertama perjalanan kami.
Genangan air seperti membentuk pusaran berkat gemericik air dari atas. Ada jalur ongkos di dekat kolam renang, serta jalur ongkos lain dari tempat kami melangkah menuju air terjun.
Mamet berkata tali tambang dipasang untuk membantu pengunjung menyeberang aliran arus deras menuju curug. Saat debit air tidak besar, aktivitas menyeberang dan mendekat ke curug tidak mustahil.
Tali tambang menuju curug. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)
|
Saya memberanikan diri menyeberang, berpegangan pada tali tambang sembari menguatkan pijakan pada batu-batu. Cukup mendebarkan sebab arus cukup deras dan sangat mungkin menyeret saya.
Akan tetapi, kenekatan ini berbuah manis. Saya menikmati percik air dari curug secara langsung. Rasanya curug seperti kolam pribadi sebab tak ada wisatawan lain.
“Mau coba ke bawah? Itu jalur yang dilewati kalau susur sungai,” Mamet menawarkan.
Tanpa pikir panjang, hajar saja. Ternyata ada bagian area curug yang tak kalah indah. Meski harus melalui medan sedikit terjal bagai Benteng Takeshi, saya berjumpa dengan kolam air bening dengan latar curug berukuran mini.
Kolam ini disebut Leuwi Lesung. Saking beningnya, kolam memperlihatkan bebatuan warna tembaga di dasar.
Suasana Curug Cibural yang sepi saat hari kerja. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari
|
Menguak pesona Curug Ciburial, Kembar dan Hordeng
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
.
[ad_2]