[ad_1]
Jakarta, Eksekutif —
Halimun, dalam bahasa Sunda berarti kabut, berarak menyelimuti Desa Cisadon, Kelurahan Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Jarak pandang kian terbatas, udara makin dingin padahal baru sekitar pukul 1 siang. Ujang Usman, Ketua RT 4 Desa Cisadon, memperhatikan lampu LED di teras rumahnya. Karena masih siang, nyala lampu tidak begitu kentara. Namun lampu ini begitu penting buatnya.
“Kalau lampu mati, tandanya ada putus nih atau ada (aliran air) yang mampet,” kata Ujang saat ditemui di kediamannya pada Selasa (2/3).
Dia bercerita sudah sekitar 10 tahun ia juga warga Desa Cisadon mengadakan listrik secara mandiri. Ayah lima anak ini memanfaatkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sederhana yang menghasilkan listrik berdaya 220 volt. Kecil memang, hanya cukup menyalakan lampu rumah, lampu mushola dan mengisi daya baterai satu buah ponsel. Televisi? Rice cooker? Kulkas? Lupakan saja.
Akan tetapi Ujang sama sekali tidak menunjukkan raut masam. Sembari menghisap rokok, ia mengaku ‘enjoy’ saja. Kondisi ini terbilang jauh lebih baik daripada saat dia pertama kali tinggal di Cisadon pada 2007 silam. Listrik belum ada sehingga ia harus mengandalkan lampu minyak.
“Dulu penerangan seadanya, motor jarang ada. Saya kalau belanja kebutuhan seminggu sekali ke Madang (Kecamatan Babakan Madang). Motor taruh di Prabowo (titik awal menuju desa yang terletak di Bojong Koneng). Belanjanya ya minyak, beras, asin (ikan asin). Enggak ada telur, sampai sini bisa pecah semua,” kenangnya.
Lampu minyak perlahan berganti dengan lampu LED sejak sekitar 2010. Saat itu terdapat kincir air menganggur di Karang Tengah sehingga ia berinisiatif membeli dan merakitnya sendiri. Rakitan sederhana terdiri dari dari kincir, as roda, dinamo, juga turbin dipasang di tepi Kali Cisadon.
Aliran air sungai yang menuju Curug Kencana ini pun sedikit dibendung dan dibelokkan menuju pipa sehingga memutar kincir dan menggerakkan as roda. Pusaran kincir inilah yang jadi sumber tenaga listrik untuk nyala lampu kediamannya juga mushola desa.
“Sebenarnya daya listrik bisa lebih gede kalau peralon diganti, as roda lebih besar, dinamo juga. Ada yang mau bantu tapi yah ini aja udah cukup. Yang penting anak-anak bisa ngaji,” katanya.
Kincir air sederhana di Desa Cisadon. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)
|
Kopi adalah konektor hidup
Ujang bukan orang pertama yang menggunakan teknologi ini. Total terdapat 4 turbin di sepanjang aliran Kali Cisadon. Bukan berarti PLN tidak bisa diusahakan menyambangi desa. Namun menurut Ujang, bakal berat buat warga membayar abunemen dan penggunaan listrik bulanan sementara panen kopi tidak sebulan sekali.
Warga desa mengandalkan kopi sebagai penyambung hidup. Saat ini, robusta sedang berbuah dan diperkirakan bakal panen jelang Ramadan nanti. Untuk urusan pengolahan kopi pun, pengetahuan warga masih terbatas. Baru dua tahun terakhir Ujang telaten mengolah sendiri hasil panen kopi dari kebunnya.
“Kalau sebagian warga, musim panen (kopi) dijual ke pengepul. Umumnya kan panen merah, mereka ambil yang hijau, terus mau cangkang, daun, campur jadi enggak bersih. Jual kotor ke pengepul ini anggapannya harga sama saja, padahal harga jatuh. Ini kalau dari pengepul, terus ke pabrik, dicampur beras, jagung, jadi kopi sachet,” ujarnya disusul tawa.
Sedangkan ia mendapat pengetahuan dari pegiat kopi yang kebetulan trekking atau melintas sebelum ke Curug Kencana atau Telaga Rawa Gede. Ujang pun mencoba mulai petik merah, merambang (merendam kopi di air untuk mendapatkan kopi kualitas baik) hingga jadi green beans atau biji kopi hijau siap panggang. Perlahan ia pun memperoleh bantuan dari pegiat kopi Jakarta sehingga bisa roasting (memanggang) biji kopi secara mandiri.
Ujang Usman, Ketua RT di Desa Cisadon dan mesin kopi Anabel. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)
|
Kopi Wine dalam kemasan. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)
|
Kenampakan alat roasting bernama ‘Anabel’ alias Analisa Anak Gembel ini begitu sederhana. Terdapat penampang besi berbentuk kotak, kemudian di atasnya terdapat tabung besi berpipa dan tersambung dengan tuas pemutar. Sekali panggang, tabung hanya muat sekitar 200 gram biji kopi. Cuma nyatanya alat mampu menghasilkan kopi nikmat dan banyak dilirik pemilik kedai-kedai kopi di sekitar Bogor, Bandung, Jakarta juga penikmat kopi dari berbagai negara.
Kopi yang diberi label ‘Raja Wine’ ini menawarkan 4 jenis kopi yakni, wine, natural, luwak dan lanang. Proses pascapanen berbeda sehingga menghasilkan citarasa kopi berbeda pula. Kopi lanang mungkin terdengar asing. Kopi, kata Ujang, memang diperuntukkan bagi kaum adam demi menunjang keperkasaan.
“Bentuk bijinya aja beda, lebih kecil, bulet. Kalau wine itu habis panen dirambang, diperem (difermentasi atau disimpan dalam wadah yang dibuat kedap udara) 40 hari. Nah kalau natural ya habis dirambang langsung jemur. Kalau luwak, ambil dari warga. Kan tiap musim panen enggak bisa banyak,” jelasnya.
Kopi-kopi ini ia jual per 100 gram dan 200 gram. Untuk kopi natural, wine dan luwak dijual Rp50ribu per 200 gram. Sedangkan kopi lanang dibanderol Rp100ribu per 200 gram.
Desa Cisadon saat kabut turun. (Eksekutif/Elise Dwi Ratnasari)
|
Memang perlu perjalanan sejauh 8 kilometer dengan jalan menanjak dan terjal demi menyicip kopi ini. Terlebih wilayah ini absen dari sinyal operator telepon. Ujang tidak memusingkan hal itu. Ponselnya mendapat sinyal tiap Kamis saat ia turun gunung sehingga notifikasi pemesanan kopi beradu masuk. Sang anak yang berada di pondok pesantren Babakan Madang pun siap menampung pesanan yang masuk.
“Saya bilang, kalau ada yang pesen, itu berarti udah ketemu bapak,” imbuhnya.
Sementara itu, di luar masa panen warga lebih banyak mengandalkan sektor wisata. Popularitas trekking menuju Curug Kencana maupun Telaga Rawa Gede mampu menghidupkan perekonomian warga. Ada yang berjualan di beberapa titik rute trekking, ada pula yang kerap membantu mengantar pengunjung ke lokasi tujuan.
Minim listrik dan absen sinyal tidak membuat desa redup. Sebagian anak-anak Cisadon masih semangat belajar meski tidak secara formal di bangku sekolah. Tiap minggu ada saja mahasiswa dari berbagai universitas memberikan bimbingan belajar baca, tulis dan berhitung.
Sulit dibayangkan saat listrik terputus dan segalanya jadi gelap. Ujang musti mengecek turbin dengan medan terjal, penuh semak belukar.
“Ada lampu emergency. Kalau matinya malam ya besok aja ceknya,” ujarnya santai.
(ard / ard)
[Gambas:Video CNN]
.
[ad_2]