‘Parkenier’ Terakhir di Banda Neira

oleh -5 views
Paulus van den Broeke ialah generasi terakhir parkenier, atau pemilik kebun keturunan Belanda, di Banda Neira.

[ad_1]

Jakarta, Eksekutif —

Pagi hari tiba di kawasan pantai nusantara Band Neira, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku. Gunung api Banda menjulang tinggi dengan gagahnya. Sementara itu asap yang mengepul dari permukiman warga menandakan aktivitas sehari-sehari sudah dimulai.

Kepulauan Banda Neira menjadi salah satu saksi bisu perjuangan Indonesia merdeka dari penjajah. Wilayah tersebut menyimpan kisah tentang rempah yaitu pala yang sempat diperebutkan oleh bangsa Eropa pada abad ke-16 dan 17.

Kini daerah tersebut meninggalkan sepenggal cerita tentang sosok “parkenier” atau pemilik kebun keturunan Belanda yang merupakan generasi terakhir. Ia bernama Pongky van den Broeke yang kini telah berusia 63 tahun.


Pongky adalah sosok yang menjadi sejarah hidup dalam kisah kerusuhan lahan pala di kawasan Banda Neira.

Sosok kurus berkacamata itu mengatakan bahwa dirinya merupakan keturunan ke-13 dari pemilik kebun asal Negeri Kincir Angin yaitu Paulus van den Broeke, adik dari Pieter Jan van den Broeke yang merupakan admiral Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang melakukan pendaratan ke Pulau Banda pada 1621.

Paulus yang merupakan parkenier pertama dari klan Van den Broeke di Kepulauan Banda memulai mengembangkan kebun pertamanya di Pulau Ay hingga Pulau Rhun.

Dalam sebuah catatan jurnal Belanda bertajuk ‘Trouw’, kebun pala milik keluarga Van de Broeke bisa menghasilkan 20 ton pala dan 2,9 ton fuli (bunga pala) dengan 160 pekerja dan 55 budak.

Kini Pongky hanya mengurus kebun pala seluas 12,5 hektare, peninggalan ayahnya Benny William Van de Broeke.

Pala tersebut oleh Pongky kini selain diolah menjadi manisan juga dikembangkan untuk diambil minyaknya (atsiri) dan dijual ke sejumlah negara.

Berbagai cobaan dalam mengelola kebun tersebut pernah Pongky rasakan.

Puncaknya yakni menjadi korban serangan pada konflik horizontal di wilayah Ambon pada 1999. Ia beruntung masih bisa selamat. Akan tetapi istri, anak serta bibinya meninggal dunia pada peristiwa tersebut. Hal itu karena ia dan keluarganya dianggap keturunan Belanda yang dicap sebagai penjajah.

Namun peristiwa itu tidak membuatnya meninggalkan tanah kelahirannya. Peristiwa itu telah menjadi sejarah kelam dalam hidupnya.

Ia menyatakan telah memaafkan semua hal lampau yang telah terjadi tersebut. Ia ingin hidup berdampingan dengan damai dan melanjutkan hidup dengan mengelola kebun pala.

“Dari dulu nenek moyang kita hidup dari pala. Perkebunan ini dibangun dengan penuh pengorbanan. Tolong jaga peninggalan ini. Lestarikan. Rawat dia baik-baik untuk seterusnya sampai ke anak cucu,” ujarnya, mengutip pesan dari mendiang ayahnya, yang menguatkan dirinya tetap berkuat dengan pala di Banda Neira.

(ANTARA / ard)

[Gambas:Video CNN]


.

[ad_2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.