Prof HM Syarifuddin Dikomentari Prof. Topo Santoso

  • Bagikan
Prof HM Syarifuddin Dikomentari Prof. Topo Santoso

[ad_1]

Gagasan Ketua Mahkamah Agung (MA), Profesor Muhammad Syarifuddin perihal pentingnya pendekatan heuristika hukum dalam sistem pemidanaan dapat mengatasi problematika penegakan hukum di Indonesia, saat ini menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan praktisi hukum.

Pendekatan heuristika hukum ini diungkapkan Ketua MA pada saat pengukuhannya sebagai Guru Besar Tidak Tetap di Universitas Diponegoro, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Dalam paparannya, diungkapkan bahwa hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.

Tugas utamanya adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan semua perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga, hakim tidak memiliki hak untuk melakukan penyelidikan pun penyidikan.

Kendati demikian, bukan berarti semua putusannya hanya berdasarkan pada teori-teori hukum yang sudah termaktub dalam undang-undang dan KUHP. Dalam menjatuhkan putusan, hakim juga harus menggali dari perspektif lain.

Singkatnya, hakim harus mengkaji terlebih dahulu baik secara antropologis pun sosiologis latar belakang dari kasus tersebut, sebelum akhirnya menjatuhkan putusan.

Ini diperlukan agar terciptanya dinamika hukum di Indonesia. Sehingga bisa sejalan dengan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya.

 

Prof. Topo Santoso, SH, MH, PhD – (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

“Artinya, kalau dalam permasalahan dalam pidana, maka bukan melihat satu-satunya hakim. Tapi juga perlu dilihat mulai dari penyidik, penutut umum, baru hakim,” ujar Prof. Topo Santoso kepada Majalah eksekutif.

Seperti apa pandangan lebih jauh Guru Besar Hukum ini mengenai pendekatan heuristika hukum? Majalah eksekutif mewawancarainya secara mendalam.

Berikut petikannya.

Bagaimana Anda melihat dunia peradilan dan hukum yang terjadi di Indonesia saat ini?

Memang saat ini banyak sekali isu-isu yang berkaitan dengan hukum.

Dunia peradilan itu kan kita bicara dari pelaksanaan tugas yudisial di tingkat paling bawah, di pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan Tata Usaha Negara, sampai dengan pengadilan  militer.

Masing-masing pengadilan memiiki masalah yang berbeda.

Bidang saya adalah hukum pidana, maka saya ingin batasi diskusi kita pada hukum pidana saja. Bicara hukum pidana yang sering dibahas orang adalah dari sisi keadilan dalam punishment.

Hukum pidana adalah proses. Hakim bukanlah satu-satunya aktor yang menentukan.

Artinya, kalau dalam permasalahan dalam pidana, maka bukan melihat satu-satunya hakim. Tapi juga perlu dilihat mulai dari penyidik, penutut umum, baru hakim.

Ya, kalau ada kelemahan-kelemahan penyidikan, atau kelemahan dari sisi penututan, tentu saja akan ada imbasnya pada hakim dalam memutuskan perkara.

Rasa keadilan dalam setiap proses peradilan seringkali menjadi perdebatan di masyarakat. Bagaimana pendapat Anda?

Nah, kalau kita bicara perkara pidana sendiri, orang akan lebih banyak membahas soal hukuman yang diputuskan oleh pengadilan, apakah adil atau tidak. Kadang-kadang kata “adil” itu sangat filosofis sekali.

Kadang masyarakat umum hanya melihat dari sisi proporsionalitas pemidanaan saja, walaupun proporsionalitas bukan satu-satunya aspek dari penjatuhan hukuman.

Proporsionalitas ini kita memaknaainya dari teori lama yaitu Teori Cesare Beccaria dari Italia pada masa pencerahan hukum di Eropa. Beccaria adalah seorang tokoh terkenal dalam Aliran Klasik Kriminologi dalam teorinya punishment as detterent (hukuman yang menjerakan).

Tokoh ini mendapat inspirasi banyak tokoh lain di bidang hukum. Beccaria kan intinya harus ada proporsionalitas, keseimbangan, antara perbuatan yang dilakukan atau kejahatan yang dilakukan dengan hukuman yang akan dijatuhkan.

Teori Beccaria ini digunakan di banyak negara dalam sistem peradilan?

Orang  mengatakan ini sebagai teori klasik. Artinya, di sini betul-betul dilihat dari sisi proporsionlitas antara perbuatan dengan hukumannya.

Tentu banyak sekali kritik-kritik terhadap teori klasik ini. Yang kemudian muncul teori neo klasik, yaitu faktior atau variabel orang melakukan perbuatan itu kan bisa macam-macam. Ini harus diperhitungakn oleh hakim.

Inti dari teori klasik ini apa sebenarnya?

Jadi, aliran klasik ini kan intinya orang melakukan perbuatan, karena kehendaknya sendiri. Oleh karena itu harus sesuai ancaman hukumannya.

Maka dari itu, proses legislasinya juga, bukan hanya proses penjatuhan hukuman.

Ketika merumuskan perbuatan dan hukuman itu harus mempertimbangkan juga, agar orang tidak melakuka kejahatan, maka harus ada ancaman hukuman yang setimpal. Sehingga orang mikir-mikir kalau akan melakukan perbuatan.

Nah, dari proses legislasi itu kemudian hakim menerjemahkan dalam putusannya agara perbuatan atau kejahatan yang dilakukan seorang pelaku agar diganjar setimpal sesuai dengan perbuatannya.

Apakah teori klasik ini masih relevan diterapkan di masa sekarang?

Nah, pada masa sekarang kan sebuah kasus pidana ada banyak variabelnya.

Orang melakukan tindak kejahatan bukan hanya karena kehendak bebasnya. Tetapi ada juga faktor lainnya, misalnya faktor ekonomi yang mendesak, faktor background pendidikan, faktor pendidikan keluarganya, dan faktor-faktor lainnya yang menekan kepada dia sebagai pelaku.

Nah, faktor-faktor perbuatan ini harus diperhitungan oleh hakim.

Seorang hakim dalam menetapkan putusan di masa sekarang harus “fleksibel” ?

Ya itu tadi. Ajaran klasik tadi, justru di masa sekarang, hakim harus memperhitungkan berbagai faktor, termasuk juga kalau yang masa sekarang ini yang berkaitan dengan victim (korban), bagaimana perbuatan itu berdampak terhadap korban dan bagaimana hukum yang dijatuhkan bisa berimpilkasi terhadap si pelaku ke depan.

Jadi hukuman itu bukan hanya melihat ke belakang, tetapi juga harus melihat ke depan. Inilah yang biasa disorot oleh masyarakat dlam penjatuhan-penjatuhan hukuman.

Walaupun kadang-kadang, masyarakat maunya pelaku kejahatan dihukum yang seberat-beratnya. Khususnya kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Misalnya kasus korupsi, masyarakat maunya pelaku dihukum yang seberat-beratnya. Sementara, hakim tidak bisa mengikuti kemauan publik.

Hakim harus adil melihat setiap kasus yang ditangani. Itu saya lihat itu satu persoalan.

Ada wacana yang mengemuka agar proses hukum bisa dilakukan tidak berbelit, tapi lebih ringkas, sehingga menjadi lama untuk memutuskan sebuah kasus. Menurut Anda?

Ini juga menjadi persoalan berikutnya, yaitu soal semacam prinsip yang sudah lama digaungkan hukum acara pidana di Indonesia. bukan hanya untuk acara hukum pidana, tapi juga seluruh proses hukum, yaitu peradilan yang prosesnya cepat dan berbiaya ringan.

Ada adagium atau pepatah bahwa keterlambatan dalam memberikan keadilan itu menjadi ketidakadilan itu sendiri. Kalau kita lihat, pengadulan di Indonesia cukup memakan waktu cukup lama.

Banyak pendapat yang mengatakan di Indonesia saat ini banyak orang yang lemah berputus asa dari keadilan. Menurut Anda?

Menurut saya, keluhan itu sudah lama terdengar. Artinya, orang itu kan pada ujungnya mencari ke adilan kan ke pengadilan, kan.

Pengadilan itu kan harus independen, imparsial, dia tidak memihak, dia tidak punya kepentingan, tidak memihak kepada penguasa, juga tidak memihak kepada para pihak yang berperkara.

Oleh karena itu, dalam banyak perkara, orang berharap pengadilan bisa memberikan keadilan. Jadi, masyakat sangat berharap agar hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya. Tapi ya di dalam kenyataanya, tentu kadang-kadang para pihak tidak semua puas dengan putusan yang dijatuhkan.

Padahal, kalau mereka tidak puas kan masih ada upaya hukum yaitu banding, kalau masih tidak puas lagi mereka bisa ajukan upaya hukum lagi kasasi, dan kalau tidak puas ada juga upaya hukum luar biasa kalau misalnya ada novum dalam kasus pidana, ada juha upaya hukum peninjauan kembali.

Jadi, sebenarnya sistem peradilan di Indonesia juga sama dengan di negar-negar lain, memberikan kesempatan untuk mengoreksi tiap putusan yang dianggap tidak adil.

Kemandirian hakim dalam menjatuhkan putusan dalam peradilan peradilan modern yang berbasis elektronik saat ini juga menjadi pembicaraan hangat di kalngan praktisi hukum. Ada sendiri mencermatinya bagaimana?    

Sebetulnya ini kan pembahasan global atau dunia. Jadi, bagaimana teknologi informasi ini bisa digunakan di dalam proses pengadilan untuk mencapai keadilan yang lebih singkat.

Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini yang melingkupi seluruh dunia, bagaimana agar teknologi informasi lebih didayagunakan agar orang tidak banyak melakukan kontak secara langsung di dalam persiadangan.

Di Indonesia sendiri model ini bisa diterapkan?

Nah, Indonesia sudah menyambut baik hal ini denga adanya kebijakan dari Mahkamah Agung untuk peradilan yang dilakukan dengan cara virtual. Walaupun itu tentu membutuhkan kehati-hatian.

Makanya, hukum acaranya diperlukan sebagai landasan, sebab KUHAP tidak mengatur tentang itu. Peraturan hukum lainnya juga tidak mengatur hal ini, karena pandemi ini kan kejadian tiba-tiba.

Nah, di pengadilan seluruh dunia diaturnya melalui regulasi Mahkamah Agung masing-masing negara.

Di sisi lain ada yang dikenal dengan prinsip peradilan cepat, dan ini buan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Pola ini perlu dilakukan, karena itu tadi, keterlambatan pengadilan menjadi ketidakadilan.

Maksudnya?

Ada juga nih kritik, kalau pengadilan terlalu lama, maka akan muncul ADR (Alternative Dispute Resolution), yakni  model penyelesaian yang disepakati oleh kedua belah pihak, tidak perlu sampai ke pengadilan, tapi tidak bisa untuk seluruh perkara.

Ini biasanya dilakukan untuk kasus-kasus yang menyangkut perdata, kasus bisnis, dan sejenisnya.

Untuk kasus pidana tidak bisa model ini diberlakukan model ini. Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan konsep penyelesaian konflik atau sengketa di luar pengadilan secara kooperatif yang diarahkan pada suatu kesepakatan atau solusi terhadap suatu konflik atau sengketa yang bersifat “menang- menang” (win-win).

Ini salah satu alternatif penyelesaian di luar pengadilan, untuk mendapatkan win-win solution.

Beda dengan di pengadilan, kalau yang menang ya menang, sedangka yang kalah merasa itu tidak adil. Oleh karen itu, ADR (Alternative Dispute Resolution) juga merupakan bagian dari peradilan kita. Di Mahkamah Agung kan juga ada kebijakan yang mengatur ini.

Saat ini sedang menjadi pembicaran menarik tentang Teori Heuristika. Apa sebenarnya teori ini yang bisa dipahami oleh masyakat awam?

Ini memang hal yang menarik untuk dibahas. Sekarang ini memang sedang jadi perbincangan sejak istilah ini dimucnulkan Ketua Mahkamah Agung Prof. HM Syarifuddin saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap di Undip beberapa waktu lalu. Sebenarnya, ini juga dulu pernah didengungkan.

Intinya begini, dalam proses peradilan hakim bukan “tukang”, bukan “mekanik”, bukan juga seperti berhitung 4×4 = 16.

Hakim bukan seperti robot, yang dimasukan rumus, lalu akan keluar hasilnya seperti ini. Bukan dimasukan kasus, lalu keluar putusanny apa, bukan begitu.

Kasus hukum kan menyangkut manusia, dengan berbagai baackgroundnya, variabelnya, dan berbagai persoalannya, sehingga seorang hkim itu tidak bisa bertindak lazimnya seperti tukang atau mekanik.

Oleh karena itu, pendekatan Heuristika seperti yang dikemukanan oleh Prof. Syarifuddin menurut saya itu menarik.

Dimana letak menariknya?

Pertama, beliau sebagai pucuk pimpinan tertinggi di Mahkamah Agung, kan ini bisa menjadi panutan bagi hakim-hakim di pengadilan di bawahnya, baik hakim tingkat banding maupun hakim tingkat pertama. Agar dalam memutus perkara itu betul-betul memutuskan bukan seperti seorang mekanik.

Tapi kalau kita melihat dari Heuristika ini kan seni  untuk menemukan pendekatan baru, seni untuk menemukan jalan keluar baru.

Jadi menurut saya, kasus itu suatu problematik yang perlu ditemukan jalan keluarnya. Jadi kita tidak bisa menggeneralisasi, tidak semua kasus sama. Sebab, tersangkanya, korbannya itu beda-beda.

Nah, masalah Heuristika yang diungkapkan oleh ketua MA sangat menarik, karena bisa menjadi rujukan bagi hakim-hakim di bawahnya.

Apa alasannya?

Dalam kasus pidana, itu kan ada dua segi dalam hakim menangani perkara.

Pertama, ketika dia mau memutuskan perkara itu benar atau salah, terbukti atau tidak, pasti kan berdasarkan analisis terhadap barang-barang bukti, alat bukti yang ada, keterangan terdakwa, keterangan ahli, sampai pada keyakinan sang hakim.

Kedua, kalau dari analisa tersebut ternyata terbukti dan terdakwa dinyatakan bersalah, sang hakim masih ada tugas berikutnya, yaitu hukumannya berapa lama.

Kalau di pengadilan yang menerapkan sistem juri seperti pengadilan di Amerika, untuk menentukan terdakwa benar-benar bersalah atau tidak adalah juri. Tapi kalau untuk menentukan hukumannya berapa lama, itu menjadi domainnya hakim.

Nah, di Indonesia kan dua-duanya diperankan oleh hakim. Hakim menentukan terbukti atau tidaknya dan berapa lama hukumannya itu di tangan hakim.

Coba bayangkan, dalam KUHP soal berapa lama hukuman, kisarannya tidak ada minimum secara khusus, tetapi yang ada maksimum.

Artinya kisaran hukumannya itu bisa dimulai dari satu hari sampai, misalnya, tujuh tahun, sepuluh tahun, dan seterusnya. Nah, itu kan range-nya kan sangat lebar.

Apakah bisa disebutkan sangat subyektif sekali ya seorang hakim dalam menentukan putusan di pengadilan…

Akhirnya, ya seringkali putusan hakim itu menjadi pertanyaan publik, misalnya: kenapa terdakwa hanya dihukum 5 tahun, kenapa tidak 10 tahun, kenapa hanya dihukum seumur hidup bukan dihukum mati, dan seterusnya.

Artinya, posisi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara hukum bukan hanya mengandalkan analisis saja, tetapi juga melibatkan nurani, melibatkan kontemplasi, dia harus merenungkan apakah putusannya itu adil atau tidak, proporsional atau tidak.

Intinya, banyak variabel yang menjadi faktor dalam mengambil keputusan hukum.

Nah, ini membutuhkan seni untuk memutuskan. Oleh karena itu, pidato Prof. Syarifuddin tentang Heuristika hukum, menurut saya sangat bagus untuk saat ini dan bisa menajdi pedoman dan acuan bagi para hakim.  (*)

 

Prof. Topo Santoso, SH, MH, PhD – (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

f

baca edisi cetak majalah eksekutif: Klik ini

 

[ad_2]

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tak Hanya Produk Branding, Media Massa Pun Dipalsukan Seperti Majalah EKSEKUTIF ini