[ad_1]
Menurut Prof Syarifuddin, setiap hakim, hukum, dan keadilan, ibarat tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
“Hakim memegang peranan penting dalam menyelaraskan hukum dan keadilan tersebut. Menafsirkan aturan, membentuk norma baru, mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima dan memutus perkara,” tuturnya.
Menjatuhkan pidana, menurut Prof Syarifuddin, merupakan kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif Hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Eksistensi Hakim dalam penegakan hukum dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dalam mengadili perkara. Pengalaman tersebut membentuk karakter, wawasan, dan kepekaan dalam menegakkan hukum dan keadilan pada setiap perkara yang diadili.
Permasalahan yang muncul dalam praktik diantaranya terjadinya disparitas pemidanaan, khususnya putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum sama.
Adanya kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas dalam pemidanaan perkara korupsi memberi gambaran masih adanya disparitas pemidanaan, diantaranya .
Salah satu yang menjadi sebab adalah sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan kasus korupsi.
Disparitas tersebut menjadi permasalahan ketika terjadi perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara yang serupa, sehingga dipandang menimbulkan ketidakadilan.
Ada pro dan kontra di masyarakat, khususnya dari pelaku, korban dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penegakan hukum. Masyarakat pada umumnya subjektif dalam memaknai “keadilan”.
“Disparitas ini dianggap turut bertanggung jawab terhadap lahirnya ketidakadilan, sehingga dikhawatirkan muncul sikap skeptis terhadap kinerja aparat penegak hukum serta penghargaan orang terhadap hukum menjadi rendah,” katanya.
Tugas dan profesi hakim tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai agama yang membentuk karakter, sikap, dan tata laku yang mengandung kearifan dan kebijaksanaan.
Keadilan harus ditegakkan secara profesional dan proporsional yang ditakar oleh kelembutan perasaan, yang akan muncul melalui hati nurani dari orang yang dekat dengan Tuhannya melalui ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya.
Dalam penjatuhan pidana, Hakim dituntut untuk mempertimbangkan secara lengkap fakta hukum. Hakim harus memiliki kemandirian dalam menjatuhkan putusan, karena kemandirian merupakan pilar utama dalam fungsi kekuasaan kehakiman.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa disparitas menimbulkan ketidakadilan, sehingga harus ada mekanisme yang dapat meminimalisir tingkat disparitas tanpa harus menggerus kemandirian hakim.
“Saya mencoba mengambil pemikiran dari perspektif yang berbeda, dengan mencoba mengoreksi problematika atas ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya disparitas pemidanaan, tanpa harus melukai independensi hakim,” kata pria kelahiran Batu Raja ini.
Hakim memiliki kewajiban untuk menguraikan tentang apa yang menjadi alasan dalam pengambilan keputusan, termasuk menggambarkan tahapan dan langkah-langkah yang dilalui sehingga pada akhirnya seorang hakim menjatuhkan putusan.
“Masyarakat pencari keadilan berhak untuk mengerti apa yang menjadi alasan dan argumentasi dalam putusan hakim, sehingga perkara tersebut diputus seperti itu,” tutur ayah dua anak ini.
Semakin dapat dipahami alasan dari sebuah putusan, maka semakin tinggi nilai keadilan yang dapat dirasakan.
Hakim dalam menjatuhkan pidana melalui dua tahapan, dalam teori dikenal dengan proses dua fase (twice phase process theory). Pertama, hakim harus menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana atau tidak.
Kedua, jika terbukti bersalah, selanjutnya hakim harus menentukan ukuran pidana yang adil bagi terdakwa.
Dua bentuk pekerjaan tersebut memiliki metode kerja yang berbeda, ketika hakim mempertimbangkan kesalahan terdakwa metode kerjanya adalah dengan berpikir dan menganalisis, sehingga hasil akhirnya berupa kesimpulan yang bersifat objektif.
Sedangkan pada saat menentukan ukuran pidana, metode kerjanya adalah kontemplasi karena ukuran pidana bertumpu pada nilai kepantasan yang bersifat subjektif.
Salah satu upaya untuk memperkecil tingkat disparitas pemidanaan dalam tindak pidana korupsi, khususnya penerapan Pasal 2 dan 3 adalah dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang–Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perma Tipikor).
Sebelum Perma Tipikor disahkan, Mahkamah Agung melihat pentingnya memperbarui model pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi (tipikor) untuk setidaknya memberi pedoman umum dan/atau standar bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana.
Sistem pemidanaan terhadap tipikor diharapkan dapat memberi kepastian dalam penerapan hukum yang pada akhirnya juga dapat mendorong terwujudnya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi negara dan masyarakat.
Sejak disahkannya UU Tipikor hingga sebelum terbitnya Perma Tipikor muncul persoalan terkait dengan disparitas pemidanaan meskipun hanya sebagian kecil yang tidak sejalan idealitas hukum.
Saat hampir bersamaan, publik menghendaki sistem peradilan pidana mampu menciptakan pemidanaan yang ajeg terhadap para pelaku tipikor.
Selain dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian dalam penegakan hukum, publik juga menghendaki ada efek jera dari penerapan pemidanaan tersebut. Inilah yang sering kita istilahkan sebagai gap antara das sollen dan das sein.
Pembaruan sistem pemidanaan dalam praktik peradilan modern dimaksudkan untuk meminimalisir disparitas dalam pemidanaan namun tidak mengurangi kemandirian Hakim.
Dalam perspektif heuristika hukum, lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2020 telah menyelaraskan pelbagai aspek sistem pemidanaan dalam upaya mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Untuk mendukung pembaruan peradilan menuju peradilan modern, lembaga peradilan harus mengimplementasikan teknologi informasi dalam administrasi dan persidangan perkara dengan tetap memerhatikan ketentuan yang berlaku dalam hukum acara.
Teori heuristika hukum dapat dijadikan sebagai pendekatan baru yang melengkapi teori-teori hukum yang telah ada dalam pengembangan studi dan kebijakan hukum, tidak hanya dalam bidang hukum pidana, namun juga pada bidang hukum lain.
Sistem hukum mencakup banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Karena itu, penormaan, penegakan, dan pembaruan hukum harus melibatkan pemangku kepentingan tersebut.
Prof Syarifuddin Titip Pesan Ke Sejawatnya Hakim Seluruh Indonesia
“Saya berpesan bahwa dalam memutus perkara janganlah hanya terpaku pada aturan normatifnya saja tetapi haruslah berpikir secara holistik dan progresif dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan yang sejati,” pesannya.
“Junjunglah tinggi hak asasi manusia. Ketahuilah bahwa hukum itu adalah untuk manusia bukan manusia untuk hukum,” demikian pesan Prof Dr H Muhammad Syarifuddin SH, MH.
[ad_2]